Tanggal 20-24 Maret nanti diselenggarakan Ujian Nasional untuk tingkat SMA, SMK dan Madrasah. Gugatan dari kelompok Air Mata Guru yang merupakan organisasi yang sebagian beranggotakan keluarga dan pihak pendidik yang merasa dirugikan akibat kebijakan UN, baik karena putra-putrinya gagal lulus UN, maupun karena sekolahnya gagal memenuhi target untuk meluluskan siswanya, gugatan tersebut berupa kesesuaian antara UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan penyelenggaraan UN, dimana penyelenggaraan UN seharusnya tidak menjadi acuan utama dalam meluluskan siswa selama menempuh pendidikan di jenjang SMA, SMP maupun SMK. Pendidikan yang ditempuh selama 3 tahun hanya ditentukan kelulusannya dalam jangka waktu kurang dari 3 jam. Dalih pemerintah untuk menyelenggarakan UN yang mengatasnamakan peningkatan kualitas pendidikan, masih menjadi senjata andalan utama pemerintah. Memang kurikulum pendidikan seharusnyalah menyesuaikan dengan perkembangan jaman, namun apakah yang harus menjadi korban adalah para siswa yang dijadikan subjek, objek sekaligus sebagai objek penderitanya. Secara nalar, siswa yang dalam hal ini juga mengikut sertakan peran orang tua dan masyarakat, yang menyumbang dana pendidikan untuk sekolah, siswa juga yang menjalankan amanah pendidikan dari sekolah, siswa juga yang menjalani beban yang diemban sekolah secara langsung. Mengapa siswa yang selama ini terus menerus menjadi korban kebijakan para pengambil keputusan ini, kenapa siswa yang harus menanggung beban yang menjadi tanggung jawab penuh sekolah sebagai tempat belajar mengajar, tempat para orang tua menitipkan putra-putrinya untuk mendapatkan ilmu, tempat para orang tua mempercayakan pendidikan putra-putrinya. Mengapa pihak guru yang tidak dipersalahkan dan dimintai tanggung jawab profesinya sebagai pendidik setelah gagal meluluskan peserta didiknya. Sementara para siswa harus menanggung beban secara psikologis, mental, fisik dan akademik apabila tidak lulus. Belum lagi waktu mereka untuk meraih masa depan yang gemilang menjadi tertunda hanya karena UN. Harus beginikah para murid setingkat SMA harus menanggung tekanan yang berat ini. Dimanakah peran guru sebagai pendidik, apalagi sejak amanat UU Sisdiknas yang mewajibkan guru harus profesional dalam mengajar dan dituntut untuk menjalankan profesinya sebagai guru dengan sebaik-baiknya.
Ditinjau dari sejarahnya, Ujian Nasional mengalami berbagai perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan kriteria kelulusan. Pada periode 1950-1960-an ada yang namanya Ujian Penghabisan, seluruh soal dalam bentuk esai dan diperiksa oleh pusat. Hal yang sama juga dilakukan pada periode 1965-1971 dimana hanya namanya saja yang berbeda, yaitu Ujian Negara. Pada awal Orde Baru sekitar tahun 1972-1979, pemerintah memberikan kebebasan kepada sekolah untuk membuat dan menilai hasil ujian, pemerintah hanya memberikan pedoman dan panduan yang bersifat umum. Pada tahun 1980-2000 pemerintah menyelenggarakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional untuk mata pelajaran pokok dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir untuk mata pelajaran selain EBTANAS. EBTANAS dikoordinasi pemerintah pusat, sedangkan EBTA dikoordinasi pemerintah propinsi. Kelulusan ditentukan oleh kombinasi dua evaluasi tadi ditambah nilai raport harian siswa selama 3 tahun belajar. Dan bentuk yang terakhir ini adalah Ujian Nasional yang berlaku sampai sekarang, dimana kelulusan UN cenderung lebih ditentukan oleh nilai mata pelajaran secara individual dan rata-ratanya. UN menjadi faktor penentu kelulusan utama siswa, meskipun dalam aturan kelulusan siswa, UN hanya dijadikan salah satu parameter kelulusan selain hasil evaluasi dan pleno yang diselenggarakan oleh pihak sekolah sendiri.. Seiring dengan sejarah Ujian Nasional, proses untuk mensejahterakan guru juga mengalami perkembangan yang menjadi kabar baik bagi para guru. Pada masa sebelum orde baru guru masih menjadi profesi yang tidak menjanjikan, sehingga banyak sekali kekosongan guru pada masa ini. Pada masa awal orde baru, khususnya pada tahun 1970-an, guru mulai diperhatikan oleh pemerintah, terbukti dengan adanya pengiriman guru Indonesia untuk mengajar di Malaysia. Kesejahteraan guru di Indonesia juga mulai diperhatikan, meskipun masih kurang. Hal ini berlangsung hingga masa orde reformasi, hingga pada tahun 2003 diterbitkan UU Sisdiknas yang di dalam salah satu pasalnya mengatur tentang tunjangan profesi guru, dimana guru diberikan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok. Proses pemberian tunjangan profesi itu sebelumnya telah melalui proses penilaian terhadap portofolio guru. Proses sertifikasi guru dalam jabatan tersebut mengandung komponen-komponen yang menjadi paramater profesionalitas guru, antara lain keaktifan dalam forum ilmiah, keaktifan menghasilkan karya tulis maupun karya fisik, keaktifan dalam pembibingan siswa dalam lomba maupun organisasi kemasyarakatan dan sekolah, tingkat keberhasilan guru dalam meluluskan siswanya dalam Ujian Lokal maupun Nasional dan komponen penilaian dari atasan. Semua paramater tersebut terukur dalam bentuk angka-angka empiris yang apabila dikumulatifkan akan dibandingkan dengan nilai standar kelulusan sertifikasi guru dalam jabatan. Selain berdasarkan portofolio, para guru juga dinilai dalam proses wawancara dengan pihak penguji sertifikasi.
Tidak dapat dipungkiri lagi pelaksanaan Ujian Nasional pada beberapa tahun mendatang akan menjadi sebuah pembiasaan kepada siswa agar lebih serius dalam belajar. Hal ini juga seharusnya menjadikan pemicu guru untuk lebih profesional dalam mengajar. Tingkat kelulusan UN yang hanya berkisar antara 84-93% dalam penyelenggaraan UN pada tahun-tahun sebelumnya, bisa menjadi tolok ukur pemerintah dalam mengambil kebijakan tentang profesionalitas guru. Tidak hanya bentuk kecurangan dalam UN saja yang harus mendapatkan sanksi yang tegas, tetapi juga sanksi apabila sekolah tersebut gagal meluluskan anak didiknya dalam UN. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan-kebijakan yang secara periodik dapat diterapkan kepada guru dalam rangka tanggung jawab terhadap peserta didiknya yang gagal dalam UN. Tidak hanya kepala Sekolahnya saja yang bertanggung jawab, seperti yang telah menjadi wacana pemerintah yang akan memberikan sanksi kepada kepala sekolah yang gagal dalam UN ini, sanksi itu berupa mutasi jabatan dan pemindahan tugas ke tempat lain. Pemerintah bisa menerapkan pengurangan angka kredit bagi guru yang gagal meluluskan UN, selain itu bisa juga menerapkan teguran yang sifatnya periodik yang hingga periode tertentu guru tersebut bisa dimutasi. Pemerintah bisa juga menerapkan pengurangan gaji guru, terutama yang terkait dengan tunjangan profesi, dimana tunjangan profesi bisa tidak diberikan. Kebijakan-kebijakan ini memang harus dipikirkan lebih lanjut, agar kegagalan UN tidak hanya menjadi tanggungan siswanya saja, namun juga pihak sekolah.
Guru adalah profesi yang sangat mulia, kehadiran guru bagi siswa ibarat sebuah lilin yang menjadi penerang tanpa batas. Tetapi dalam mengemban amanah sebagai seorang guru, perlu kiranya tampil sebagai sosok yang profesional. Sosok yang memiliki pengetahuan dan wawasan, sosok yang dapat memberi contoh teladan dan sosok yang selalu berusaha untuk maju, terdepan dan memberikan inovasi-inovasi dalam rangka mencerdaskan siswanya. Guru juga sama seperti kita, tidak bisa dituntut sempurna dalam menghasilkan anak didik yang cerdas, semuanya ada kapasitasnya masing-masing. Siswa juga bukan seorang manusia super yang mampu menguasai segala macam pengetahuan yang diajarkan, siswa juga bukan robot yang terus diperah prestasinya demi mengangkat derajat sekolahnya.
Pada akhirnya tidak perlu dicari siapa yang harus bertanggung jawab atas kegagalan seorang siswa dalam menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Guru, murid, sekolah, pemerintah yang menerapkan kebijakan dan pihak lain, semuanya seharusnya ikut bertanggung jawab, tidak harus siswa yang menanggung beban kegagalan UN yang ditempuhnya. Dimanakah letak moral para guru bila melihat anak didiknya yang telah menempuh UN dan telah mempersiapkan sebelumnya dengan penuh kerja keras dan ternyata ia gagal. Apakah engkau wahai para guru yang mulia, mau bertanggung jawab atas kegagalan tersebut. Siapkah engkau para orang yang patut digugu lan ditiru itu untuk demikian, siap menerima sanksi apabila gagal meluluskan siswanya dalam UN nanti ? semuanya dikembalikan lagi ke diri anda masing-masing, seharusnya tanpa kebijakan dari pemerintah pun, para guru harus merasa ikut bertanggung jawab terhadap kegagalan muridnya. Apalagi guru yang sudah bersertifikasi. Jangan hanya dilihat dari sukses meloloskan portofolio anda secara akademik, namun tunjukkanlah bahwa anda pantas menerima sertifikasi sebagai guru profesional dengan rasa penuh tanggung jawab secara moral dan ikhlas terhadap perkembangan anak didiknya dan masa depannya. Sudah saatnya anda demikian … siswa-siswi anda telah menunggu rasa tanggung jawabmu …